Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah

A. Undang-Undang Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah (OTDA) di Indonesia telah mengalami perubahan sebanyak sembilan kali yang ditandai dengan perubahan UU OTDA/Desentralisasi, yaitu:

  1. UU Nomor 1 Tahun 1945, tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini ditetapkan daerah otonom adalah kerisidenan, kabupaten dan kota. Tetapi tidak ada Peraturan Pemerintah (PP)-nya, sehingga tidak dilaksakan dan usianya hanya tiga tahun.
  2. UU nomor 22 Tahun 1948, tentang Susunan Pemda yang Demokratis. Dalam undang-undang ini ada dua jenis daerah otonom yaitu, daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa. Juga ditetapkan tingkatan daerah otonom yaitu, provinsi, kabupaten/kota besar dan desa/kota kecil. Dalam undang-undang ini, pemerintah pusat memberikan hak istimewa kepada beberapa daerah di Jawa, Bali, Minangkabau, dan Palembang untuk menghormati daerah tersebut guna melakukan pengaturan sendiri daerahnya mengenai hak dan asal-usul daerah.
  3. UU Nomor 1 Tahun 1957, tentang Pemerintah Daerah yang berlaku menyeluruh dan bersifat seragam.
  4. UU Nomor 18 Tahun 1965, tentang Pemerintah Daerah yang menganut onotomi yang seluas-luasnya.
  5. UU Nomor 5 Tahun 1974, tentang Poko-Pokok Penyelenggaraan Pemerintahan Pusat di Daerah. Undang-undang ini usianya paling panjang yaitu 25 tahun.
  6. UU Nomor 22 Tahun 1999, tentang Otonomi Daerah.
  7. UU Nomor 25 Tahun 1999, tentangPertimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
  8. UU Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini terlihat jelas pembagian urusan pemerintahan, di mana pemerintah pusat menjalankan urusan dalam pembuatan perundangan, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, kebijakan fiskal dan moneter, serta agama. Pemerintah daerah mempunyai kekuasaan selain wewenang pusat, yaitu bidang ekonomi, perdagangan, industri, pertanian, tata ruang, pendidikan, kesejahteraan, dan menjalankan fungsi pemerintahan umum sebagai wakil pemerintahan pusat.
  9. UU Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. UU ini mengatur pembiayaan pembangunan daerah yang bersumber dari PAD, dana perimbangan, dan pendapatan lain-lain. UU ini juga mengaturpembagian penerimaan antara pemrintah pusat dan daerah yaitu: penerimaan hasil hutan ( pusat 20%, daerah 80%), penerimaan dana reboisasi (pusat 60%, daerah 40%), pertambangan umum dan perikanan (pusat 20%, daerah 80%), pertambangan minyak (pusat 69,5%, daerah 30,5%), dan panas bumi (pusat 20%, daerah 80%). 
B. Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan Pendapatan Asli Daerah
Berdasarkan Undang-undang No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sumber-sumber penerimaan daerah terdiri atas:
  1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
  2. Dana Perimbangan
  3. Pinjaman Daerah
  4. Lain-lain Penerimaan yang Sah
     Pendapatan asli daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah Pasal 1 angka 18 adalah “Pendapatan asli daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
   Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai mewujudan asas desentralisasi. (Penjelasan UU No.33 Tahun 2004)

C. Pembangunan Ekonomi Regional
Dari aspek ekonomi, daerah mempunyai tiga pengertian, yaitu :
  1. Suatu daerah dianggap dimana sebagai ruang ekonomi kegiatan ekonomi dan di berbagai pelosok ruang tersebut terdapat sifat-sifat yang sama seperti social budayanya, geografinya dan sebagainya.
  2. Suatu daerah dianggap sebagai suatu ekonomi ruang yang dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi. Dalam pengertian ini disebut sebagai daerah modal.
  3. Suatu daerah adalah suatu ekonomi ruang yang berbeda dibawah suatu administrative tertentu seperti propinsi, kabupaten, kecamatan dan sebagainya yang kemudian dinamakan daerah perancanaan atau daerah administratif.
Jika kita membahas tentang perencanaan dan pembangunan ekonomi daerah, maka dalam praktek ketiga pengertian tersebut diatas yang lebih banyak digunakan karena:

  •  Dalam melaksanakan kebijaksanaan dan pembangunan ekonomi daerah diperlukan tindakan-tindakan dari beberapa lembaga pemerintah.oleh karena itu akan lebih praktis jika suatu Negara dipecahkan menjadi beberapa daerah ekonomi berdasarkan satuan administratif yang ada.
  • Daerah yang batasannya ditentukan secara administratif lebih mudah dianalisis karena biasanya pengumpulan data di berbagai daerah dalam suatu Negara pembagiannya didasarkan suatu administratif.
   Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya – sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999 : 108).
   Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses yaitu yang mencakup pembentukan institusi baru, industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, ilmu pengetahuan dan pembangunan perusahaan-perusahaan baru. Tujuan utama ekonomi daerah/regional adalah untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah.

D. Kelimpangan Kemakmuran Indonesia
Menurut Adelman dan Morris (1973):
Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (2010) mengemukakan 8 faktor yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-negara sedang berkembang, yaitu: 
  1. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita.
  2. Inflasi di mana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang.
  3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah.
  4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (capital intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari tambahan harta lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah.
  5. Rendahnya mobilitas sosial.
  6. Pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan hargaharga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis.
  7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidak elastisan permintaan negara-negara terhadap barang ekspor negara-negara sedang berkembang.
  8. Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.
E. Teori dan Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah
   Pembangunan regional pada dasarnya adalah berkenaan dengan tingkat dan perubahan selama kurun waktu tertentu suatu set (gugus) variabel-variabel, seperti produksi, penduduk, angkatan kerja, rasio modal tenaga, dan imbalan bagi faktor (factor returns) dalam daerah di batasi secara jelas. Laju pertumbuhan dari daerah-daerah biasanya di ukur menurut output atau tingkat pendapatan.
Ada beberapa teori pembangunan dan pertumbuhan ekonomi regional yang lazim dikenal, diantaranya :
  • Teori Basis Ekspor
    • Teori Basis Ekspor (Export Base Theory) dipelopori oleh Douglas C. North (1995) dan kemudian dikembangkan oleh Tiebout (1956). Teori ini membagi sektor produksi atau jenis pekerjaan yang terdapat di dalam suatu wilayah atas pekerjaan basis (dasar) dan pekerjaan service (non-basis). Kegiatan basis adalah kegiatan yang bersifat exogenous artinya tidak terikat pada kondisi internal perekonomian wilayah tersebut dan sekaligus berfungsi mendorong tumbuhnya jenis pekerjaan lainnya. Sedangkan kegiatan non-basis adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah itu sendiri.
  • Teori Pertumbuhan Jalur Cepat
    • Teori pertumbuhan jalur cepat (turnpike) diperkenalkan oleh Samuelson pada tahun 1955 (Tarigan, 2005 : 54). Inti dari teori ini adalah menekankan bahwa setiap daerah perlu mengetahui sektor ataupun komoditi apa yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam maupun karena sektor itu memiliki competitive advantage untuk dikembangkan. Artinya, dengan kebutuhan modal yang sama sektor tersebut dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar, dapat berproduksi dalam waktu relatif singkat dan sumbangan untuk perekonomian juga cukup besar. Agar pasarnya terjamin, produk tersebut harus bisa diekspor (keluar daerah atau luar negeri). Perkembangan sektor tersebut akan mendorong sektor lain turut berkembang sehingga perekonomian secara keseluruhan akan tumbuh.
  • Teori Pusat Pertumbuhan
    • Teori Pusat Pertumbuhan (Growth Poles Theory) adalah satu satu teori yang dapat menggabungkan antara prinsip-prinsip konsentrasi dengan desentralisasi secara sekaligus. Dengan demikian teori pusat pengembangan merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pembangunan regional yang saling bertolak belakang, yaitu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ke seluruh pelosok daerah. Selain itu teori ini juga dapat menggabungkan antara kebijaksanaan dan program pembangunan wilayah dan perkotaan terpadu.
  • Teori Neoklasik
    • Teori Neoklasik (Neo-classic Theory) dipelopori oleh Borts Stein (1964), kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Roman (1965) dan Siebert (1969). Dalam negara yang sedang berkembang, pada saat proses pembangunan baru dimulai, tingkat perbedaan kemakmuran antar wilayah cenderung menjadi tinggi (divergence), sedangkan bila proses pembangunan telah berjalan dalam waktu yang lama maka perbedaan tingkat kemakmuran antar wilayah cenderung menurun (convergence). Hal ini disebabkan pada negara sedang berkembang lalu lintas modal masih belum lancar sehingga proses penyesuaian kearah tingkat keseimbangan pertumbuhan belum dapat terjadi. Teori ini mendasarkan analisanya pada komponen fungsi produksi. Unsurunsur yang menentukan pertumbuhan ekonomi regional adalah modal, tenaga kerja, dan teknologi. Adapun kekhususan teori ini adalah dibahasnya secara mendalam pengaruh perpindahan penduduk (migrasi) dan lalu lintas modal terhadap pertumbuhan regional.
  • Model Kumulatif Kausatif
    • Model kumulatif kausatif (Cummulative Causation Models) dipelopori oleh Gunnar Myrdal (1975) dan kemudian diformulasikan lebih lanjut oleh Kaldor. Teori ini menyatakan bahwa adanya suatu keadaan berdasarkan kekuatan relatif dari “Spread Effect” dan “Back Wash Effect”. Spread Effect adalah kekuatan yang menuju konvergensi antar daerah-daerah kaya dan daerah-daerah miskin. Dengan timbulnya daerah kaya, maka akan tumbuh pula permintaannya terhadap produk daerah-daerah miskin. Dengan demikian mendorong pertumbuhannya.
  • Model Interregional
    • Model ini merupakan perluasan dari teori basis ekspor dengan menambah faktor-faktor yang bersifat eksogen. Selain itu, model basis ekspor hanya membahas daerah itu sendiri tanpa memperhatikan dampak dari daerah tetangga. Model ini memasukkan dampak dari daerah tetangga, sehingga model ini dinamakan model interregional (Tarigan, 2005 : 58). Dalam model ini diasumsikan bahwa selain ekspor, pengeluaran pemerintah dan investasi juga bersifat eksogen dan daerah itu terikat kepada suatu sistem yang terdiri dari beberapa daerah yang berhubungan erat.
Kesimpulan
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mempunyai tujuan untuk menjawab tuntutan pemerataan pembangunan sosial ekonomi, penyelenggara pemerintahan, dan pembangunan kehidupan berpolitik yang efektif. Sebab dapat menjamin penanganan tuntutan masyarakat secara variatif dan cepat. Pelaksanaan otonomi daerah (OTDA) di Indonesia telah mengalami perubahan sebanyak tujuh kali antara lain, UU Nomor 1 Tahun 1945, UU nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun 1957, UU Nomor 18 Tahun 1965, UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999, UU Nomor 25 Tahun 1999, UU Nomor 32 Tahun 2004, UU Nomor 33 Tahun 2004. Adapula dalam UU No.33 Tahun 2004 mengenai Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai mewujudan asas desentralisasi.
Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses yaitu yang mencakup pembentukan institusi baru, industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, ilmu pengetahuan dan pembangunan perusahaan-perusahaan baru. Tujuan utama ekonomi daerah/regional adalah untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Pembangunan regional pada dasarnya adalah berkenaan dengan tingkat dan perubahan selama kurun waktu tertentu suatu set (gugus) variabel-variabel, seperti produksi, penduduk, angkatan kerja, rasio modal tenaga, dan imbalan bagi faktor (factor returns) dalam daerah di batasi secara jelas.


SUMBER:
Srijanti, A. Rahman H.I, Purwanto S.K.2009.Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi : Mengembangkan Etika Berwarga Negara Edisi 3.Jakarta: Salemba 4.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN PT INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK. (TUGAS 2)

Order Letter and Reply to Order Letter

TUGAS 1 CONTOH KASUS PERUSAHAAN HUBUNGAN PEKERJA DENGAN MANAJEMEN PERUSAHAAN